--Salam Semalaman di BBM Group tersiar kabar bahwa Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin terancam tutup. Penyebabnya pengelola kekurangan dana.
PDS HB Jassin, didirikan 34 tahun lalu, oleh Hans Bague Jassin, seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra ternama dari Indonesia. Pria kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara, 13 Juli 1917 ini menyimpan karya sastra mulai dari tahun 1890-an hingga akhir hayatnya tahun 2000.
Inilah pusat dokumentasi sastra satu-satunya di Indonesia yang lengkap. Setidaknya ada sekitar 17.000 judul karya sastra fiksi, 12.000 judul nonfiksi, ribuan buku referensi, naskah drama, biografi, kliping, makalah, skripsi atau disertasi. Ada juga 50.000-an eksemplar guntingan koran yang memuat artikel sastra berupa cerita pendek atau puisi. Selain itu juga ada tulisan tangan Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Buku sastra yang ada di situ juga sangat bernilai. Ada buku satra Melayu Tionghoa yang ditulis dengan bahasa Melayu Pasar. Konon, buku tersebut lebih tua umurnya dari karya sastra Balai Pustaka.
PDS yang bertempat di lantai 2 Taman Ismail Marzuki ini dibuka untuk umum, setiap hari keja: Senin hingga Jumat pukul 09.00 hingga 15.00, secara gratis. Mungkin karena rendahnya apresiasi sastra oleh masyarakat, tempat ini nampak sepi. Kebanyakan yang datang adalah siswa, mahasiswa yang kebetulan mendapat tugas, atau para peneliti.
Kehidupan PDS selama ini ditopang oleh subsidi Pemda DKI, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Diknas, serta donatur beberapa pribadi.
PDS terancam tutup setelah Pemda DKI memutuskan untuk mengurangi subsidi. Dana subsidi Pemda selama ini Rp 300 juta pertahun. Namun sejak tahun lalu sudah menyusut, menjadi Rp 164 juta. Nah Januari lalu keluar SK baru Pemda DKI hanya memberi Rp 50 juta per tahun.
Ini sangat ironis, mengingat DKI adalah salah satu provinsi terkaya di negeri ini. Di zama Gubernur Ali Sadikin, DKI bisa menganggarkan di APBD untuk pengembangan kesenian termasuk sastra. Taman Ismail Marzuki adalah salah satu buktinya. Namun rupanya Gubernur DKI Fauzi Bowo yang berpendidikan luar negeri lebih akrab dengan Goethe Institute.
Lalu haruskah sedih dan marah mencerna informasi tentang menyusutnya subsidi Pemda untuk PDS tersebut? Tak perlu. Lakukan tindakan nyata yang bisa membantu dan menyelamatkan PDS HB Jassin. Beberapa kativis sosial media berinisiasi untuk membuat gerakan #koinsastra. Ini tentu menjadi tantangan nyata bagi netizen yang beberapa hari lalu melakukan gerakan #17an: Satu Tujuan Menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Indonesia yang lebih baik, adalah Indonesia yang bisa bergotongroyong menjaga karya budaya bangsa, termasuk menyelamatkan PDS HB Jassin.
Terus gerakannya seperti apa? Silakan dishare inisiatif yang tujuannya satu: membantu PDS HB Jassin. Mengumpulkan koin? Boleh saja. Mencari donasi pada pribadi dan perusahaan yang peduli? Gak masalah. Membuat pertunjukan musikali sastra, yang hasilnya disumbangkan seluruhnya pada PDS? Kenapa tidak..........
Membiarkan PDS HB Jassin tutup, sama halnya membiarkan orang menghapus catatan peradaban.
PDS HB Jassin, didirikan 34 tahun lalu, oleh Hans Bague Jassin, seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra ternama dari Indonesia. Pria kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara, 13 Juli 1917 ini menyimpan karya sastra mulai dari tahun 1890-an hingga akhir hayatnya tahun 2000.
Inilah pusat dokumentasi sastra satu-satunya di Indonesia yang lengkap. Setidaknya ada sekitar 17.000 judul karya sastra fiksi, 12.000 judul nonfiksi, ribuan buku referensi, naskah drama, biografi, kliping, makalah, skripsi atau disertasi. Ada juga 50.000-an eksemplar guntingan koran yang memuat artikel sastra berupa cerita pendek atau puisi. Selain itu juga ada tulisan tangan Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Buku sastra yang ada di situ juga sangat bernilai. Ada buku satra Melayu Tionghoa yang ditulis dengan bahasa Melayu Pasar. Konon, buku tersebut lebih tua umurnya dari karya sastra Balai Pustaka.
PDS yang bertempat di lantai 2 Taman Ismail Marzuki ini dibuka untuk umum, setiap hari keja: Senin hingga Jumat pukul 09.00 hingga 15.00, secara gratis. Mungkin karena rendahnya apresiasi sastra oleh masyarakat, tempat ini nampak sepi. Kebanyakan yang datang adalah siswa, mahasiswa yang kebetulan mendapat tugas, atau para peneliti.
Kehidupan PDS selama ini ditopang oleh subsidi Pemda DKI, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Diknas, serta donatur beberapa pribadi.
PDS terancam tutup setelah Pemda DKI memutuskan untuk mengurangi subsidi. Dana subsidi Pemda selama ini Rp 300 juta pertahun. Namun sejak tahun lalu sudah menyusut, menjadi Rp 164 juta. Nah Januari lalu keluar SK baru Pemda DKI hanya memberi Rp 50 juta per tahun.
Ini sangat ironis, mengingat DKI adalah salah satu provinsi terkaya di negeri ini. Di zama Gubernur Ali Sadikin, DKI bisa menganggarkan di APBD untuk pengembangan kesenian termasuk sastra. Taman Ismail Marzuki adalah salah satu buktinya. Namun rupanya Gubernur DKI Fauzi Bowo yang berpendidikan luar negeri lebih akrab dengan Goethe Institute.
Lalu haruskah sedih dan marah mencerna informasi tentang menyusutnya subsidi Pemda untuk PDS tersebut? Tak perlu. Lakukan tindakan nyata yang bisa membantu dan menyelamatkan PDS HB Jassin. Beberapa kativis sosial media berinisiasi untuk membuat gerakan #koinsastra. Ini tentu menjadi tantangan nyata bagi netizen yang beberapa hari lalu melakukan gerakan #17an: Satu Tujuan Menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Indonesia yang lebih baik, adalah Indonesia yang bisa bergotongroyong menjaga karya budaya bangsa, termasuk menyelamatkan PDS HB Jassin.
Terus gerakannya seperti apa? Silakan dishare inisiatif yang tujuannya satu: membantu PDS HB Jassin. Mengumpulkan koin? Boleh saja. Mencari donasi pada pribadi dan perusahaan yang peduli? Gak masalah. Membuat pertunjukan musikali sastra, yang hasilnya disumbangkan seluruhnya pada PDS? Kenapa tidak..........
Membiarkan PDS HB Jassin tutup, sama halnya membiarkan orang menghapus catatan peradaban.
Sumber:http://salingsilang.com/baca/koinsastra-selamatkan-pd-sastra-hb-jassin
0 komentar:
Posting Komentar